Geliat pertumbuhan film di Bali kian mengalami gejolak seiring dengan perkembangan teknologi, hal ini tampak dari lahirnya berbagai gagasan menarik dari segi visual maupun konsep yang mengalami perubahan dari tahun ke tahunnya. Salah satunya melalui pemutaran film di panggung Makin Dekat Film Festival yang berlokasi di Taman Kota, cetusan unik ala Bali tempo dulu dikemas menjadi sebuah dokumenter yang mengajak pengunjung untuk bernostalgia dengan perfilman khas masa lampau.
Dalam perhelatan Makin Dekat Film Festival pada D’Youth Fet 3.0, Arsip Bali 1928 menghadirkan suguhan film dokumenter Bali era tahun 1930-an. Film dokumenter yang ditayangkan pada perhelatan D’Youth Fest 3.0 merupakan film bisu yang dibuat oleh Colin McPhee. Film ini bercerita mengenai lingkungan alam dan masyarakat di Bali tahun 1930-an dari berbagai aspek budaya, tradisi, hingga kehidupan sehari-hari.
Arsip Bali 1928 merupakan kolaborasi internasional yang memadupadankan berbagai pusat arsip di dunia untuk memulangkan arsip-arsip, seperti film, foto, dan dokumen bersejarah yang berkaitan dengan Bali pada masa 1928-an. Koordinator Proyek Arsip Bali 1928, Marlowe Bandem merintis pendirian Arsip Bali 1928 memiliki tujuan dalam repatriasi, restorasi, dan penyebaran dokumen bersejarah Bali pada masa 1930-an yang tersimpan di luar negeri.
Cetusan Arsip Bali 1928 menjadi catatan yang tak ternilai bagi perjalanan budaya dan kehidupan masyarakat Bali. Banyak kalangan masyarakat Bali yang ingin mengingat kembali suasana dan kondisi masyarakat atau kultur budaya Bali tempo dahulu. Hingga saat ini, Arsip Bali 1928 telah mengembalikan sebanyak 111 rekaman berupa film maupun audio terkait seni budaya Bali yang tersimpan di luar negeri. “Karya-karya lain yang juga dipulangkan berupa rekaman gamelan dan tembang sebanyak 111, ragam cuplikan Bali 1930 dengan durasi selama 15 jam, dan 75 foto cetak yang telah direproduksi,” ujar Marlowe Bandem, Jumat (20/10).
Selain dokumenter Bali era 1928-an, Makin Dekat Film Festival turut menyuguhkan konsep film yang diadaptasi dari kehidupan masyarakat Bali yang digagas oleh Searah Creative Hub. Sebuah kelompok yang terbentuk dari keresahan akan minimnya kesadaran industri kreatif di Bali khususnya dalam bidang perfilman. Menurut penuturan Ketua Komunitas Searah Creative Hub, Dodek Sukahet, Searah Creative Hub dapat menjadi wadah bagi para penggiat film di Bali untuk mengembangkan kreativitas dan daya saing dalam kancah perfilman.
Dodek Sukahet selaku Ketua Komunitas Searah Creative Hub menuturkan tujuan pembentukan komunitas tersebut, “Searah Creative Hub dibentuk untuk menumbuhkan ekosistem film di Bali agar keberadaannya dapat lebih diperhitungkan,” ujar Dodek pada wawancara di Makin Dekat Film Festival (20/10).
Sebagai pemantik, pada perhelatan Makin Dekat Film Festival ini, Searah Creative Hub
membawakan dua film unggulannya dengan tajuk Mejaguran yang telah melanglang buana dalam ajang Festival Film Bulanan. Film Mejaguran menjadi garapan yang bernuansa laga, “Film Mejaguran ini timbul sebagai pemantik karena kami terfokus pada action scene dengan sedikit kiasan komedi yang mana dari segi cerita digagas dari keberadaan ‘ormas’ di Denpasar yang kian mencuat,” ungkap Sutradara film Mejaguran, Herda Martin, Jumat (20/10).
Film sukses lainnya yang turut dibawa yaitu How Does It Sound? yang berhasil menembus 26 besar dalam ajang Festival Film Indonesia. Berbeda dengan Mejaguran, film “How Does It Sound ?” mengangkat isu-isu yang ada di Bali, salah satunya adalah tragedi bom Bali. “Kami ingin menggagas sebuah film mengenai isu-isu yang ada di Bali, tetapi tanpa menyinggung dan membuka kembali perasaan korban penyintas bom Bali tersebut,’ ujar Herman selaku Produser film. Searah Creative Hub saat ini telah memiliki 6 film garapan dengan berbagai latar suasana serta genre yang berbeda – beda, yakni Pojok Penantian, Back to The Beat, Back to The Star, How Does It Sound?, Kacang Dari, Lobus, dan Mejaguran.
Berlanjut ke gedung DNA, penggiat perfilman turut meramaikan panggung Denpasar Documentary Film Festival (DDFF) di pelaksanaan D’Youth Fest 3.0 tahun ini. Anak Agung Gede Rai Putra Bawantara selaku inisiator Denpasar Documentary Film Festival turut menjelaskan bahwa ini merupakan penyelenggaraan DDFF yang ke-14, yang sekarang digabung dengan pelaksanaan Dyouth Festival, juga dengan salah satu acaranya, yakni Makin Dekat Film Festival.
DDFF menjadi salah satu ajang film dokumenter yang disokong oleh Pemerintah Kota Denpasar untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap film dokumenter dengan cakupan edukasi, apresiasi, kompetisi, literasi, dan eksibisi, untuk peserta dari seluruh Indonesia. Bawantara menjelaskan mengenai salah satu tujuan timnya membangun DDFF, “Film dokumenter itu utamanya adalah media yang bisa merekam, situasi di sebuah zaman secara autentik, sehingga 14 tahun yang lalu kami menyelenggarakan itu untuk bagaimana mengabadikan apakah itu situasi, gagasan, pikiran, supaya kita punya arsip yang autentik tentang hal itu,’ jelasnya saat wawancara pada Jumat (20/10).
Sejak tahun 2013, DDFF menjadi ajang kompetisi film dokumenter tingkat SMP dan SMA/SMK yang diselenggarakan oleh Organisasi Kota-kota Pusaka Dunia (OWHC). Penikmat film yang ditayangkan oleh DDFF pun datang didominasi oleh kalangan anak muda tampak masih menduduki bangku sekolah.
Kali ini, DDFF 2023 membagi acara menjadi dua sesi, dimana pada sesi pertama dihadiri oleh sekitar 88 pengunjung yang dimulai pada pukul 17.30 Wita dan sesi kedua dihadiri oleh sekitar 90 pengunjung yang dimulai sekitar pukul 19.30 Wita. Setiap sesi akan diputarkan enam film dokumenter berbeda. Pada sesi satu, pemutaran film pertama dimulai dengan film Nguri Uri yang membawakan tentang Kirab Budaya Boyong Oyod Genggong yang di adakan di Desa Kalilunjar. Dilanjutkan dengan pemutaran film dokumenter Sang Punggawa Laut Sumbawa, Penjor, Memorie of Moluca, Pejuang Jarkapung, dan ditutup dengan film yang mengisahkan budaya unik di salah satu Desa di Karangasem, yakni berjudul Darah Bali Aga.
Berlanjut di sesi dua, film dokumenter yang diputarkan tidak kalah menarik dengan sesi awal.
Dimulai dengan pemutaran film Lahbako, lalu Story Bus Scalper, Ludruk Dahulu Kini dan Nanti, Topeng Dalang Klaten, Wullu Poddu dan Padi, hingga terakhir ditutup dengan pemutaran film dokumenter Rahasia Fixer. DDFF ini juga dihadiri oleh Ibu Halida selaku produser film Darah Bali Aga dan Rahasia Fixer. Tak hanya itu, produser film dari Prancisjuga turut hadir, yakni Mr. Hendry.
Pagelaran film mulai dari panggung Makin Dekat Film Festival hingga Community Area dalam D’Youth Fest 3.0 harapannya akan membuka peluang bagi masyarakat yang ingin mengulik lebih dalam mengenai dunia perfilman khususnya yang berkembang di Pulau Bali. Tak hanya hadir dengan konsep yang menarik, ekosistem yang kian diperbarui dalam kancah perfilman tentu menjadi potensi utama yang dapat mendukung daya saing perfilman masa kini.